Oleh: Anisia Kumala Masyhadi
Studi psikologi di Azhar masuk dalam kategori studi ilmu-ilmu umum, karena jurusan psikologi tersebut berada di bawah fakultas Humaniora, dan merupakan fakultas yang tergolong baru, sebab resmi mengeluarkan alumni perdananya pada tahun 1996. selain jurusan psikologi, fakultas Humaniora juga meliputi jurusan Sosiologi, Sejarah dan Perdaban, Geografi, Tarbiyah, Tarjamah Bahasa-Bahasa Barat (Spanyol, Jerman, Inggris, Perancis dll), dan sastra-sastra Bahasa-bahsa Timur (lughoh Syarqiyyah) seperti Urdu, Persia, Ibrani dll, dengan masa perkuliahan rata-rata untuk tiap jurusan (S1) adalah empat tahun.
Mengapa Psikologi?
Mengingat bahwa Azhar dalam keabadiannya sampain saat ini mampu memupuk citra dirinya sebagai ‘ka’bat al-qushod’ bagi para penuntut ilmu dari segala penjuru dunia, ditambha dengan dukuknga citra Kairo sebagai kota ilmu dan intelektual, maka sudah sepantasnya bagi siapa saja yang ingin menimba ilmu di kota seribu menara ini, khususnya di ruang-ruang kuliah Azhar, paling tidak agar memperhatikan beberapa pandangan dasar berikut ini:
Pertama, pandangan bahwa dalam konteks dakwah , umat Islam dianjurkan untuk berbagi tugas melalui bidang garapan dan spesialisasi masing-masing, sehingga dalam bidang da’wah umat Islam dapat memasuki semua lini kehidupan.
Kedua, mengamati realitas empiris akan minimnya sarjana-sarjana psikologi Islam di tanah air, khususnya yang dari Timur Tengah. Padahal, bidang psikologi merupakan aspek penting dalam bidang dakwah dalam konteks modern sekarang ini. Artinya, bahwa pendekatan psikologis dalam berdakwah menjadi tidak dapat dielakkan lagi, mengingat semakin tingginya tingkat kemajemukan dan keanekaragaman watak dan budaya manusia akibat desakan gencar arus modernisasi, globalisasi maupun industrialisasi.
Ketiga, pertimbangan habitat bagi psikologi. Dalam suatu cara pandang tertentu, bidang-bidang semacam psikologi, pendidikan, dan lain sebagainya itu adalah bidang0bidang yang secara ‘habitat’ sesuai dengan naluri dan tabiat alamiah kaum Hawa, misalnya naluri seorang ibu dan pendidik bagi anak-anaknya. Maka tidak terlalu mengherankan jika Azhar sendiri hanya membuka jurusan psikoloogi yang dikhususkan untuk mehasiswi saja, tidak untuk mahasiswa.
Keempat, pertimbangan orientasi kiprah artikularistik di masa depan. Pertimbangan ini berkaitan erat dengan lingkungan praksis dan dalam sudut pandang empiris,yang sebetulnya erat hubungnnya dengan pertimbangan `habitat`tadi.Bagi kaum hawa, menggambarkan bentuk kiprah artikularistik masa depan sedikit banyak mengalami dilema (walaupun tidak semuanya),dan pada umumnya sangat tergantung pada orang lain.Artinyadalam suatu pengamatan sederhana saja terhadap kenyataan sehari-hari,dengan mudah akan segera kita dapati banyak sekali kaum hawa yang
mengalami keterputusan link antara wawasan keilmuan yang dibangunnya ketika studi dengan mosel kibrahnya dalam masyarakat. Contohnya adalah banyaknya sarjana-sarjana ekonomi atau hukum –dari kaum hawa- yang tidak mengaplisiasikan ilmunya secara sempurna, sebab dibenturkan dengan masalah-masalah internal dalam keluarga. Sementara itu, fungsi dan perannya dalam keluarga,misalnya sebagai pendidik bagi anak-anaknya, juga kurang optimal dilakukan sebab tidak memiliki pengetahuan yang cukup guna mendidik dan mengamati psikologi anaknya. Namun dengan mengambil psikologi atau pendidikan, dilema di atas –insya Allah- dapat teratasi.
Atas pertimbangan–pertimbangan di atas, maka studi psikologi Al-Azhar, dalam suatu cara pandang tertentu, kelihatannya dimaksudkan untuk menjawab dilemma itu sekaligus untuk menjembatani kebingungan menentukan model kiprah artikularistik bagi kaum hawa. Dengan kata lain, al-Azhar ingin mencetak sarjana-sarjana psikologi dari kaum hawa yang tidak lagi mengalami hambatan psikologis dalam menentukan model kiprahnya dalam masyarakat, baik kiprah di lingkungan keluarga maupun di luar keluarga yaitu dengan terjun langsung di tengah-tengah masyarakat, dengan tetap memanfaatkan wawasan keilmuan yang dibangunnya ketika studi. Dengan begitu, keterputusan link, seperti tersebut di atas diharapkan tidak akan terjadi.
Artinya, bahwa dengan modal wawasan psikologi dan seperangkat ilmu pendukung lainnya, misalnya seperti pendidikan, yang bersangkutan bisa leluasa menentukan kiprahnya, di dalam maupun di luar rumah. Jika terpaksa --atas pertimbangan-pertimbangan tertentu-- perannya hanya terbatas di dalam rumah,maka fungsi dan perannya sebagai ibu rumah tangga maupun pendidik bagi anak-anaknya dapat dilakukan secara optimal dengan dukungan secukupnya dari pengetahuan dan wawasan keilmuan (psikologi) yang didapatnya dari bangku kuliah. Sementara jika memilih kiprah di luar rumah, maka wawasan dan pengetahuan psikologi itu justru sangat bermanfaat bagi pengembangan masyarakat secara luas.
Sekilas perkuliahan di psikologi islam,Al-Azhar
Sebetulnya sebutan ‘Islam’ di sini tidak resmi dari Al-Azhar, artinya pihak universitas sendiri secara tidak resmi menyebutkan psikologi Islam, melainkan hanya dengan sebutan psikologi saja (ilmu nafs). Namun, setelah melihat dan mengamati subtansi dan materi-materi yang di ajarkan di jurusan psikologi ini,maka menisbatkan sebutan “Islam” dalam kata psikologi menjadi relevan. Hal ini didasari paling tidak dua alasan:
Pertama, mengingat eksistensi al-Azhar sebagi salah satu lembaga pendidikan Islam terpenting (dan tertua) di dunia, yang reputasinya dalam mengawal ajaran-ajaran dasar agama Islam di amini oleh hampir seluruh masyarakat muslim dunia, yang di mata sebagian pengamat pendidikan Islam, hal tersebut kemudian sempat memposisikan dirinya sebagai lembaga pendidikan tinggi Islam konservatif, di dunia. Namun, terlepas dari benar tidaknya anggapan itu, kenyataan yang di amati adalah kegigihan Al-Azhar dalam mengintregasikan kaidah-kaidah dasar ajaran agama ke dalam wawasan ilmu dan pengetahuan modern atau sebaliknya, membawa masuk wawasan ilmu dan pengetahuan modern ke dalam ruang lingkup ajaran-ajaran agama, melalui teoretisasi yang di bangun para al-salaf al-sholih. Ilmu-ilmu hukum, politik dan ekonomi (yang di ajarkan di fakultas syariah wal qonun, misalnya) di samping di ajarkan secara apa adanya ilmu-ilmu tersebut, tetapi juga di sertai suatu sajian studi komparasi yang ketat dengan berpijak pada dasar-dasar ajaran agama.
Begitupun dalam bidang psikologi, bahwa selain di ajarkan apa adanya teori-teori tentang psikologi --yang menyangkut juga varian-varian pendukungnya seperti sosiologi, statisika, pendidikan dan lain-lainnya-- tetapi juga di ajarkan petunjuk-petunjuk Al-qur’an mengenai psikologi. Jadi katakanlah ada semacam materi psikologi Al-Qur’an, yaitu psikologi yang di bangun berdasarkkan wawasan-wawasan umum tentang manusia, perkembangan dan lingkungan sosialnya, dan lain sebagainya dalam al-Qur’an.
Kedua, sebagai dukungan terhadap alasan pertama yaitu adanya materi al-Qur’an. Salah satu kelebihan Azhar adalah bahwa walaupun dalam lingkup studi ilmu-ilmu umum, seperti psikologi, pendidikan, perdagangan, kedokteran bahkan teknik sekalipun mahasiswa masih tetap diwajibkan untuk menghafal al-Qur’an. Apalagi bagi mahasiswa asing non arab yang balajar di fakultas-fakultas umum tadi, justru dituntut lebih banyak hafalannya daripada mahasiswa yang kuliah di fakultas-fakultas agama yaitu lima juz untuk setiap tingkatnya. Dengan suatu harapan bahwa semakin banyak hafalan maka akan semakin luas wawasannya terhadap kandungan al-Qur’an. Selain untuk kepentingan yang mendukung wawasan keilmuannya di bidang pengetahuan umum tadi, hafalan al-Qur’annya juga berguna untuk mengimbangi dan mengawali sikap moral intelektualnya dalam mengemban amanat ilmu, dan lebih spesifik lagi amanat dakwah Islam dalam masyarakat.
Adapun mengenai materi-materi kuliah psikologi Islam di Azhar, untuk strata S1 kelihatannya masih bersifat umum, yaitu sebagai pengantar imperatif bagi studi yang lebih spesifik dalam bidang psikologi, seperti psikologi perkembangan, psikologi sosial, psikologi klinik, psikologi pendidikan, dan lain sebagainya yang kesemuanya itu akan didapatkan pada strata-strata berikutnya.
Barangkali karena pertimbangan bahwa bidang psikologi sangat erat kaitannya aspek-aspek praktis, tetapi justru sering dilupakan orang, maka pihak Azhar kelihatannya telah mengantisipasinya dengan tujuan agar sarjana-sarjana psikologi yang dihasilkannya mampu mengaplikasikan teori-teorinya dalam lapanagn praktis. Untuk itu, pada tingkat akhir jurusan psikologi Islam, pihak universitas menyediakan fasilitas praktikum psikologi dibeberapa klinik, rumah sakit jiwa, instansi-instansi mapupun perusahaan-perusahaan. Tidak tahu apakah Azhar juga memikirkan untuk memperluas medium praktikum psikologi, misalnya dengan menyelenggarakan praktikum pengamatan langsung terhadap gejala-gejala sosial yang timbul dalam masyarakat baik yang positif maupun negatif seperti kecenderungan chaos dan anarkisme dalam suatu masyarakat, atau praktikum menanggulangi gejala individualisme dan materialisme dalam masyarakat dan mengembalikannya pada seruan agama.
Penutup
Sampai saat ini, mahasiswi asing yang terdaftar di jurusan psikologi Azhar masih bisa dihitung dengan hitungan jari, padahal kebutuhan terhadap psikolog maupun psikiatri yang kaffah (maksudnya yang diharapkan mampu mengintegrasikan wawasan ilmunya dengan ajaran-ajaran dasar agama) sangat mendesak bagi keperluan mengantisipasi tantangan dakwah dimasa depan. Disamping itu, mengingat posisi Azhar dalam percaturan dakwah Islam diseluruh dunia, maka harapan lahit\rnya psikolog maupun psikiatri Azhariah, tidak bisa tidak, mutlak diperlukan.
Hingga kini pun, di tanah air, bila ingin menyebut satu nama saja ahli psikologi Islam yang kaffah tadi, kita hanya akan mendapatkan satu atau dua nama saja, apalagi yang alumnus Timur Tengah. Sebut saja misalnya, Prof. Dr. Zakiah Darajat yang selama bertahun-tahun diposisikan orang sebagai al-sayyidah al-wahidah al-mu’tabaroh dalam bidang psikologi Islam, padahal jika diruntut secara wawasan kelimuannya beliau bukanlah alumnus Azhar, tetapi alumnus ‘Ain Syams University, dan hanya mempelajari psikologi pun tidak dengan studi komparasi seperti yang sekarang dikembangkan di Azhar. Namun, keberhasilan Prof. Zakiah seperti sekarang ini, barangkali –menurut beberapa riwayat—tidak terlepas dari usaha dan perjuangan kerasnya sendiri dalam memanfaatkan fasilitas-fasilitas intelektual selama di Kairo, tentunya diluar bangku kuliah.
Sementara itu, kelihatannya dalam beberapa tahun dekat ini, generasi penerus Prof. Zakiah dan lain-lainnya dalam bidang spesialisasi piskologi Islam belum nampak, disamping juga belum banyak.
Untuk itu, bagi keperluan regenerasi dan sekaligus –ini yang paling penting—memperluas cakupan dakwah Islam agar dapat memasuki semua lini kehidupan di kehidupan modern ini, maka pilihan studi psikologi Islam dapat dijadikan alternatif dan ala kulli hal semua itu harus diniati sebagai upaya mengemban misi dakwah Islam dengan menjadikan Azhar sebagai titik tolak pemberangkatan lillahi ta’ala.
Wallahu a’lam bi as-showab.