Selasa, 07 Agustus 2012

Solidaritas


Suatu hari dalam perjalanan ke Depok menggunakan kereta Jabotabek,
aku berdiri dekat pintu. Seorang anak perempuan kecil, berwajah
ceria, lucu dan mungil memegang mike dan sebuah tape karaoke kecil
diletakkan di lantai gerbong kereta mengalunkan musik pengiring
lagunya. Dengan lincahnya bernyanyi. Ia bernyanyi sambil bergaya,
gerakan tangan dan badannya seirama dengan lagu yang ia nyanyikan.
Suara gadis mungil itu masih bening karena ia masih berusia sekitar
tujuh atau delapan tahun.

Dengan penuh penjiwaan ia melantunkan lagu:
"Ambilkan bulan, Bu
Ambilkan bulan, Bu.
Untuk menerangi tidurku yang lelap di malam
Di malam bulan bersinar,
Cahya-nya sampai ke bintang
Ambilkan bulan, Bu
Ambilkan bulan, Bu......"
Seluruh gerbong, tempat aku berdiri merasakan sebuah jiwa yang sedang
bernyanyi, suara itu begitu mempengaruhi orang-orang yang ada di
gerbong saat itu, sampai-sampai dua anak kecil di sebelahku memandang
pemandangan kota Jakarta lewat jendela pun ikut menirukan lagu gadis
kecil itu.

Hatiku pun tergetar dan tak terasa aku pun ikut bernyanyi...
"Ambilkan bulan, Bu
Ambilkan bulan, Bu.
Untuk menerangi tidurku yang lelap di malam
Di malam bulan bersinar,
Cahya-nya sampai ke bintang
Ambilkan bulan, Bu
Ambilkan bulan, Bu......"

Setelah bernyanyi, dengan tetap diiringi musik lagu yang sama ia
mengeluarkan kantong permen Relaxa, dan mulai mengedarkan dari
penumpang satu ke penumpang yang lain.
Ada satu hal yang membuatku terpana. Di sebelah gadis kecil itu, ada
seorang pengemis cacat. Ia duduk mengesot di lantai sambil menggaruk-
garuk luka yang ada di kepalanya. Ia seorang anak laki-laki dan tidak
dapat berjalan dengan kedua kakinya, ia mengesot dari gerbong yang
satu ke gerbong yang lain. Di kepalanya ada borok yang belum kering
(mungkin ia jatuh dari kereta atau terkena lemparan batu). Setelah
ikut mendengarkan lagu gadis itu, ia mengeluarkan uang logam dari
saku bajunya dan memasukkannya ke dalam kantong permen yang diedarkan
oleh gadis kecil tadi. Subuah apresiasi yang luar biasa atas lagu
merdu gadis kecil itu dari seorang anak yang cacat.

Melihat kejadian itu hatiku menjadi gelisah, ada pertanyaan besar di
dalam diriku, "Mengapa anak laki-laki yang masih membutuhkan uluran
tangan orang lain itu mau merelakan uang yang ia terima, dan
memasukkannya ke dalam kantong permen gadis itu?"

Mengapa ia yang masih serba kekurangan itu masih mau solider dengan
sesamanya yang mungkin kurang menderita dari dirinya sendiri? Ada
logika yang dijungkirbalikkan oleh tindakan anak laki-laki kecil
cacat tadi. Dari kekuranganya ia memberikan sesuatu bagi orang lain.
Dari seorang cacat masih mau membantu mereka yang sehat, yang masih
bisa bernyanyi sambil bergaya.

Apakah solidaritas yang luar biasa seperti ini masih berlaku umum di
masyarakat kita?
Atau hal seperti itu menjadi suatu yang aneh?
Atau bahkan sebuah tindakan yang bukan apa-apa?

sumber: pengalaman teman NEO


Tidak ada komentar: