Selasa, 07 Agustus 2012

Aku Biasaibiasa Aja


Tahukah anda, apa yang paling dibanggakan orang tua dari anak-anaknya? Boleh jadi adalah kecerdasan
scholastic, seperti matematika, bahasa, menggambar (visual), musik (musical), dan olahraga (kinestetik).
Tetapi, pernahkah kita membanggakan jika anak kita memiliki kecerdasan moral, kecerdasan intrapersonal,
atau kecerdasan interpersonal? Rasanya jarang, sebab ketiga kecerdasan yang terakhir hampir pasti
uncountable, tidak bisa dihitung, dan  sayang sekali tidak ada pontennya (nilainya) di  sekolah, karena di
sekolah hanya memberikan penilaian kuantitatif.

Ada sebuah cerita tentang seorang anak, sebut saja namanya Fani (6,5 tahun), kelas I SD. Ia memiliki
banyak sekali teman. Dan ia pun tidak bermasalah harus berganti teman duduk di sekolahnya. Ia juga bergaul
dengan siapa saja dilingkungan rumahnya. Ada satu hal yang menarik saat ia bercerita tentang teman-temannya.

"Bu, Ifa pinter sekali lho, Bu...! Pinter Matematika, Bahasa Indonesia, Menggambar....pokoknya pinter
sekali....!" katanya santai. Vivi juga pintar sekali menggambar, gambarnya bagus ...sekali! Kalau si Yahya
hafalannya banyaaak... sekali!"

Ya memang Fani senang sekali membanggakan teman-temannya. Ketika mendengar celoteh anaknya
ibunya tersenyum dan bertanya, " Kalau mbak Fani pinter apa?" Ia menjawab dengan cengiran khasnya,"Hehehe... kalau aku, sih, biasa-biasa saja".

Jawaban itu mungkin akan sangat biasa bagi Anda, tetapi ibunya tertegun, karena pada dasarnya fani
memang demikian. Ia biasa-biasa saja untuk ukuran prestasi scholastic.

Tapi coba kita dengarkan apa cerita gurunya, bahwa Fani sering diminta bantuannya untuk membimbing
temannya yang sangat lamban mengerjakan tugas sekolah, mendamaikan temannya yang bertengkar. Bahkan ketika dua orang adiknya, Farah (4,5 tahun) dan Fadila (2,5 tahun)bertengkar. Fani langsung turun tangan.
"Sudah..! sudah, Dek! sama saudara tidak boleh bertengkar, Hayo tadi siapa yang mulai?" Adiknya
saling tunjuk. "Hayo, jujur ...Jujur itu disayang Allah..! Sekarang salaman ya... saling memaafkan".

Pun ketika suatu hari ia melihat baju-baju bagus di toko, dengarlah komentarnya! "Wah bajunya  bagus-bagus
ya Bu? Aku sebenarnya pengin, tapi bajuku di rumah masih bagus-bagus, nanti saja kalau sudah jelek dan
Ibu sudah punya rezeki, aku minta dibelikan ..." Ibunya pun tak kuasa menahan air matanya, subhanallah, anak sekecil itu sudah bisa menunda keinginan, sebagai salah satu ciri kecerdasan emosional.

Saya sebenarnya ingin berbagi cerita tentang ini kepada Anda, karena betapa banyak dari kita yang
mengabaikan kecerdasan-kecerdasan emosional seperti itu. Padahal kita tahu dalam setiap tes penerimaan
pegawai, yang lebih banyak diterima adalah orang  yang mempunyai kecerdasan emosional walaupun dari sisi
kecerdasan scholastic adalah BIASA-BIASA SAJA.

Kadang kita merasa rendah diri manakala anak kita tidak mencapai ranking sepuluh besar di sekolah.
Tetapi herannya, kita tidak rendah diri manakala anak-anak kita tumbuh menjadi pribadi yang egois, mau
menang sendiri, sombong, suka menipu atau tidak biasa bergaul.

Maka ketika Fani mengatakan "AKU BIASA-BIASA SAJA", maka saat itu ibunya menjawab "Alhamdulillah, mbak
Fani suka menolong teman-teman, tidak sombong, mau bergaul dengan siapa saja. Itu adalah kelebihan  mbak
Fani, diteruskan dan disyukuri ya..?" Ya... ibunya ingin mensupport dan memberikan reward yang  positif
bagi Fani. Karena kita tahu anak-anak kita adalah amanah dan suatu saat amanah itu akan diambil dan ditanyakan bagaimana kita menjaga amanah. Sebagaimana doa kita setiap hari agar anak-anak menjadi penyejuk mata dan hati.

Sudahkah kita mencoba untuk menggali potensi-potensi kecerdasan emosional anak-anak kita? Kalau belum
mulailah dari diri kita, saat ini juga.

Source : L. Fini R.A


Tidak ada komentar: