Assalamualaikum wr. wb.
Pak ustadz, langsung saja, saya mau tanya bagaimana cara berniat puasa yang benar? Apakah harus
kita lafazkan atau dengan kita sengaja berpuasa secara otomatis kita telah berniat untuk puasa? Saya
pernah dengar niat itu artinya sengaja jadi kalau kita sengaja melakukan puasa berarti sudah berniat
tanpa harus dilafazkan. Mohon dijelaskan.
Assalamualai kum wr. wb.
Wanda Adi Putralenda at eramuslim.com
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,Niat adalah syarat sah semua ibadah. Tanpa niat
maka semua jenis ibadah tidak sah dilakukan.
Misalnya seorang yang melakukan puasa di bulan Ramadhan, tapi dia tidak meniatkannya sejak
malam (tabyiitunniyah), maka dia tetap haram makan dan minum di siang hari, namun puasanya
tidak sah. Di hari lain, dia wajib mengganti puasanya yang tidak dilandasi niat sebelumnya.
Namun niat melakukan ibadah berbeda dengan melafadzkan niat. Lafadz nawaitu shauma ghadin...
bukanlah niat itu sendiri, melainkan hanya merupakan lafadz dari niat. Niat itu sendiri adanya di
dalam hati.
Ketika seseorang berpuasa dan menyengaja di dalam hatinya bahwa dirinya akan melakukan puasa,
itu namanya niat. Sebaliknya, seorang yang melafazkan lafadz niat, belum tentu di dalam hatinya
berniat melakukan puasa.
Misalnya, seorang guru TK sedangkan mengajarkan lafadz itu di depan muridmuridnya,
meski dia
mengulangulang
lafadz itu belasan kali, tetapi kita tidak mengatakan bahwa ibu guru TK itu sedang
berniat untuk puasa esok harinya. Dia hanya melafadzkannya saja, tanpa meniatkannya di dalam hati.
Demikian juga seorang dubber (pengisi suara) yang sedang rekaman. Meski dia merekam suara yang
melafazkan niat puasa, belum tentu di dalam hatinya dia berniat untuk puasa esok harinya.
Sebaliknya, seseorang mungkin saja berniat untuk puasa esok harinya, meski lidahnya tidak
melafadzkan apapun. Sebab tempat niat itu memang bukan di lidah, melainkan apa yang terbersit di
hati.
Sebagian ulama yang terlalu berhatihati
dengan masalah niat ini, sehingga saking tingginya kehatihatiannya,
sampaisampai
mereka menganjurkan untuk melafadzkan saja niat itu dengan lisan.
Mungkin maksudnya, bisa lebih pasti dan lebih mantap, paling tidak bisa menjamin bahwa dirinya
sudah berniat. Meski mereka tidak mewajibkannya, namun mereka menganjurkannya.
Sebagian kalangan lainnya mengatakan bahwa melafadzkan niat itu tidak menjadi kewajiban, syarat
atau apapun. Bahkan kalau sampai ke tingkat keyakinan bahwa melafazkan niat itu suatu keharusan,
sudah termasuk mengadaadakan
perkara baru di dalam agama, padahal tidak diperintahkan dan
tidak juga dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Tentu saja masalah ini sangat panjang diperdebatkan oleh para ulama, mulai dari yang menganjurkan
sampai kepada yang membid'ahkannya. Semua tentu berangkat dari ingin mencapai kesempurnaan
dalam beribadah kepada Allah SWT. Bahwa di tengah jalan mereka berbeda pandangan, hal itu sangat
wajar dan manusia, bahkan sejarah khilaf fiqih sudah dimulai sejak nabi masih hidup. Tidak ada yang
perlu dikhawatirkan, selama kita tetap saling santun kepada sesama.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.