Judul
Buku: Oposisi Pasca Tradisi
Judul
Asli: Humum Al-Fikr Al-Watan
(At-turas
wa al-Asr wa al-Hadasah Juz I; 341-555)
Dar
Qubba’, Kairo 1998
Penulis:
Dr. Hassan Hanafi
Editor:
Mualaf Imam Aziz
Desain
Sampul: Haitamy el-Jaed
Cetakan
1: Pebruari 2003
Penerbit:
Syarikat Indonesia, Yogyakarta
Tebal:
306 + ix Halaman
Antara
Islam dan kebudayaan Arab adalah dua kenyataan yang berbeda. Islam adalah
ajaran yang mempunyai idealitas pembebasan. Sementara, kebudayaan Arab adalah
realitas sosiologis, hasil produk ekonomi-politik. Dalam pengertian tegas
inilah pembicaraan mengenai Islam dan kebudayaan semestinya dimulai. Sebab,
jika masih ada asumsi produk sosial Arab adalah sama dengan ajaran Islam, maka
pembahasan mengenai otentisitas Islam, dalam konteks pembaruan pemikiran,
barangkali tidak akan pernah beranjak kearah pemikiran kritis.
Penemuan
otentisitas ajaran Islam sebagai kajian tentu saja bukan sekedar bertujuan
memisah-misahkan antara Islam dengan warisan kebudayaan Arab, melainkan lebih
pada tujuan ilmiah, yakni upaya melakukan dekonstruksi dan sekaligus
merekonstruksi pemahaman atas ajaran Islam. Dekonstruksi adalah upaya
pembongkaran asumsi-asumsi lama yang irasional, irelevan, dan ilutif atas
pemahaman otentisistas Islam. Sementara rekonstruksi dihadirkan sebagai wujud
pertanggung jawaban intelektual yang memberikan alternatif pemikiran praksis
dari dekadensi pemikiran lama tersebut.
***
Salah
satu tokoh pemikir Islam yang layak diberi perhatian dalam hal ini adalah buah
pemikiran Dr Hasan Hanafi. Dalam rangka menemukan otentisitas Islam ini, Hanafi
mencoba menawarkan pemahaman-pemahaman seputar wacana ke-Islaman yang
berdialektika dengan tradisi-tradisi di mana tempat umat Islam hidup.
Sebagaimana karya tulis lainnya, latar belakang Hanafi dalam karya “Oposisi
Pasca Tradisi” berangkat dari kenyataan bahwa Islam sebagai agama pembebas
telah mengalami dekadensi ilmu pengetahuan dan praktik politik selama beberapa
abad.
Hasan
Hanafi mendefinisikan bahwa tradisi (turas) adalah segala sesuatu yang sampai
kepada kita dari masa lalu dalam peradaban yang dominan, sehingga merupakan
masalah yang diwarisi sekaligus masalah penerima yang hadir dalam berbagai
tingkatan. (Apa Arti Turas dan Tajdid?1991;11).
Dengan
demikian tradisi dianggapnya sebagai “titik awal tanggung jawab kebudayaan dan
bangsa, sedangkan pembaruan (tajdid) adalah penafsiran ulang atas tradisi
sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan zaman, karena yang lama mendahului yang
baru.” Oleh karena itu, pembahasan mengenai turas dan tajdid dalam kajian
Hanafi tidak dalam konteks filosofis an sich, melainkan dengan menyertakan
argumen historis.
Jika
selama ini para sosiolog lebih cenderung menganggap tradisi sebagai obyek tanpa
kritisisme, maka Hanafi mencoba keluar dari konservatisme tersebut. Tawaran
paradigma yang diajukan adalah memahami tradisi suatu masyarakat melalui bentuk
kritisisme struktural. Hanafi beranggapan, bahwa “tradisi adalah produk sosial
dan hasil dari pertarungan sosial-politik, yang keberadaannya terkait dengan
manusia. Jika diacak melalui historisitasnya, tradisi yang demikian itu lahir
dari kehendak “seleksi sosial” sebagai salah satu bentuk kekuatan masyarakat
yang mempengaruhi pertarungan sosial.
Seleksi
sosial, sebagai salah satu bentuk kekuatan sosial yang berpengaruh terhadap
pertentangan sosial, berubah-ubah seiring dengan perubahan tingkat kekuatan
yang ada. (hal;1) Melalui beberapa fase historis inilah keberadaan tradisi yang
hidup dalam ranah ekonomi-politik menjelma dalam dua bentuk yang berdiri secara
diametral; di satu sisi hidup tradisi kekuasaan, di lain pihak berkembang pula
tradisi oposisi. Jika ada tradisi negara, maka ada pula tradisi rakyat. Dan,
karena dalam situasi historis budaya resmi mengalami kemapanan, maka lahirlah
budaya perlawanan.
Dalam
konteks studi kebudayaan, dialektika yang paling menonjol dalam hal ini terjadi
dalam konteks hubungan antara negara dan kebudayaan. Sebagaimana kita ketahui
bahwa kekuasaan negara adalah instrumen yang paling dominan bertindak sebagai
hakim mutlak yang berkepentingan memenangkan kekuasaan atas rakyat. Namun
demikian negara tidak akan mudah melakukan pemaksaan melalui jalan kekerasan
semata dalam menghadapi pihak oposisi. Untuk memperkokoh kekuasaanya tersebut
muncullah taktik hegemoni.
Hegemoni
sebagaimana dimaksudkan oleh Antonio Gramsci, merupakan konsensus moral dalam
rangka penaklukan negara atas rakyat. Melalui propaganda media, figur
karismatik, agama dll, negara menawarkan berbagai kesepakatan dan janji-janji
yang diharapkan dapat meredam perlawanan pihak oposisi. Dalam memainkan
hegemoni ini, negara biasanya melakukan seleksi terhadap tradisi masyarakat
yang cocok terhadap kepentingan kekuasaan, yang kemudian dijadikan
representasi, dijadikan satu pegangan yang dimutakkan, dan mengkafirkan tradisi
selain tradisi negara. Di bawah dominasi “tradisi” kekuasaan negara inilah
pluralitas kemudian tenggelam, kebudayaan larut dalam satu orientasi, dan
sistem politik hanya memiliki satu partai.
***
Islam
sebagaimana agama samawi lainnya, yang hidup dalam berbagai tradisi
sosial-politik setidaknya terus bergulat di atas dua tradisi tersebut. Pada
mulanya kehadiran Islam memang menentang tradisi lama masyarakat jahiliyah di
jazirah Arabia, terutama tradisi kekuasaan politik yang korup. Pasca wafatnya
Nabi Muhamad, muncullah tradisi baru dalam bentuk kekuasaan khilafah. Dalam
masa ini fase-fase tradisi Islam mulai menampakkan perubahan; dari tradisi
oposisi menjadi tradisi kekuasaan.
Secara
lugas Hanafi menyimpulkan, bahwa semenjak Islam hidup dalam istana penguasa
feodal, Islam menjadi agama kekuasaan. Tradisi kekuasaan dalam Islam ini
dimulai oleh munculnya klaim kebenaran “pengikut nabi” yang menyebut dirinya
sebagai kelompok Ahlusunnah wal jama’ah, kelompok yang konsisten (istiqamah),
kelompok yang berpegang pada riwayat dan hadis (ahl ar-riwayah wa al-hadis).
Semenjak kekuasaan ahlusunnah inilah Islam memulai tradisi (kekuasaan) baru,
dengan memukul kekuatan-kekuatan tradisi (oposisi ) seperti Syiah, Khawarij dan
Mu’tazilah.Para pendukung tradisi kekuasaan memiliki gelar-gelar seperti,
al-Syekh al-Rais, Hujjatul Islam, Imam al-Haramain, Nasir al-Millah wa ad-Din
dan seterusnya. Sementara para pendukung tradisi oposisi mendapat gelar semacam
atheis, zindiq, kafir, murtad, munafik, manawi, zoroaster, sabi’, barhamiy, dan
lain-lain. Dalam tradisi kekuasaan seperti ini kritik Hanafi dimulai dengan
pertanyaan: siapakah diantara kita yang tidak menginginkan gelar pertama, dan
siapakah yang tidak membenci gelar kedua? (hal;3)
Awal
mula sejarah inilah yang telah menjadi fakta politik kekalahan tradisi oposisi
yang sebenarnya menjadi misi utama ajaran Islam. disebabkan oleh kepentingan
kekuasaan, Islam menjelma menjadi tradisi kekuasaan. Kekuasaan yang hidup dalam
masyarakat Islam dan mampu melegitimasi, akan menjadikan negara menjadi kuat,
mampu mengatasi gerakan sosial, dan dapat mengawai persegkongkolan terhadap
tradisi oposisi untuk menahan rakyat agar tidak memunculkan tradisi tersebut
berlindung di dalamnya, dan mulai menghancurkan legalitas oposisi. Di Indonesia
negara memberikan pakaian kebesaran terhadap agamawan yang loyal semisal
profesor atau doktor. Atau memberikan kekuasaan di jajaran eksekutif atau
legislatif.
***
Tradisi
dalam Islam, sebagaimana tradisi kebudayaan lain pada mulanya adalah musabab, namun
merupakan sebab pada akhirnya, konklusi dan premis, isi dan bentuk, efek dan
aksi, pengaruh dan mempengaruhi. Dalam konteks inilah pentingnya upaya
melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi pemikiran Islam agar tetap hidup
sebagai ajaran yang membebaskan. Hasan Hanafi secara kritis memberikan solusi
dalam upaya ini. Sikap konsistennya sebagai intelektual beraliran Marxis tidak
membuat dirinya bersikap dogmatis dan kekiri-kirian. Melalui penalaran yang
kritis dan kreatif ia sanggup melakukan reinterpretasi dalam menerapkan
materialisme-dialektik sebagai paradigma kritis yang mampu menjelaskan berbagai
persoalan sosial, agama dan kekuasaan.
Relevansinya
dalam konteks ke-Indonesiaan dari tulisan Hanafi adalah, bahwa dirinya sanggup
mendaratkan pemikirannya dalam konteks masyarakat di negara Dunia Ketiga. Pokok
bahasan dalam buku ini bisa dikatakan berfokus pada persoalan-persoalan yang
tergolong “berat”. Namun dengan gaya tulisannya yang lugas dan sederhana, para
pembaca yang tergolong pemula pun akan dengan lezat menyantap berbagai menu,
sejarah, sosial, politik, ilmu-pengetahuan, dan filsafat dalam buku ini.
Kritik pada buku ini terletak pada pihak editor yang
kurang selektif mengedit beberapa huruf yang salah tempat atau hilang. Agar
buku sebaik ini tidak ternodai oleh kesalahan-kesalahan tersebut pihak penerbit
harus lebih serius dalam mengerjakannya. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar