Si Doel sudah setahun ini uring-uringan. Sejak lama ia bertekad mencari ilmu tertinggi dalam bidang agama. Selama ini ia mencari jawab, tak satupun guru ngajinya yang memberi jawab memuaskan. Bolak balik kitab sudah dibacanya, bahkan mencari ke teman agama lainpun telah dilakukan. Semuanya, bagi si Doel tak lain hanyalah mengulang ulang apa yang pernah ia baca dan dengar. Ada sesuatu yang ingin ia tanyakan, sulit untuk dikatakan tapi selalu ter-ngiang dalam benaknya.
Sore itu, sembari duduk diteras rumah, si Doel menyimak kang Sarta yang sedang memasang dinding rumahnya. Kang Sarta sudah lama menjadi langganan bapaknya. Ia rendah hati, pendiam, santun dan sedikit bicara. Sepertinya bila bekerja, larut dalam kesibukannya. Sekilas si Doel teringat pepatah dulu, ilmu padi semakin tinggi semakin merunduk. Nah', jangan jangan kang Sarta ini orang berlimu, batin si Doel. Tiba tiba timbul ide aneh dibenaknya.
'Kang, boleh nanya nggak ? si Doel menghampiri kang Sarta. Tanpa menoleh, sembari menyerut kaso, kang Sarta menjawab, 'nanya apa, den ?. 'Masalah agama, kang' ujar si Doel langsung. 'Walah den, saya nggak tahu soal seperti itu den' kang Sarta menjawab sambil terus menyerut kaso. Si Doel tidak putus asa, 'saya mau tahu soal Tuhan, kang !. Kang Sarta tersentak, berhenti menyerut.
'Den, pernah masang bata nggak ? tanya kan Sarta. Wah', ini dia, batin si Doel.
Sambil meraih bangku, duduk dengan baik, Doel menjawab semangat, 'belum bisa kang..'. 'Den, dipojok sana ada adukan semen, dan bata didalam tong. Coba aja den Doel, pasang bata diruas kedua, setinggi pagar ruas pertama sebelahnya ' kata kang Sarta, sambil meneruskan pekerjaannya. Jidat si Doel agak berkerut sedikit. Tetapi ia ingat mungkin ini syarat untuk mendapat ilmu.
Sejam kemudian. 'Sudah selesai, kang' si Doel kembali duduk dibangku, siap menerima turunnya ilmu. 'Teruskan dengan ruas ketiga dan keempat, den'.. ujar kang Sarta datar. Agak kesal si Doel, tetapi mungkin ini masih dalam syarat mendapat ilmu. Dengan malas si Doel mencoba melanjutkan memasang bata.
Sore hari, dengan keringat disekujur badan, si Doel menyelesaikan memasang bata diruas keempat. Kang Sarta, sudah mandi dan mengemas peralatannya. Dengan lemas si Doel kembali duduk, 'sudah selesai kang'.. 'Kalau begitu besok, tinggal disemen den.. Saya permisi dulu den' kang Sarta menunduk pamit sambil berlalu.
Tak terperikan emosi si Doel. Kalau tidak mengingat kang Sarta langganan bapaknya tahunan, ingin rasanya mendamprat saat itu. Sambil membanting pintu, si Doel masuk pergi mandi.... Selesai mandi, masih penuh kekesalan, si Doel duduk diteras memandang kerjaannya hari itu. Matahari barat turun menerawang dibalik
dedaunan, kemerahan dan kekuningan bias sinarnya. Suasana ini agak meredakan hati si Doel. Ia melihat kembali dinding pagar yang dikerjakannya. Sekilas ada yang lewat dibenaknya....
Bisa jadi inilah ilmu, batin si Doel. Selama ini ia terlampau sibuk berbicara kesana kemari dan jarang 'mendengarkan'. Memasang bata adalah melakukan sesuatu. Tadinya dinding itu belum ada, setelah dipasang sekarang menjadi ada. Bisa jadi selama ini ia sibuk berbicara tanpa laku. Padahal dari laku sesuatu rencana bisa jadi terwujud. Kalau ia ingin tahu Tuhan, bagaimana mungkin didapat bila hanya sekedar berfikir dan berbicara. Bukankah bila diwujudkan dalam laku hidup, pertanyaan ini ada jawabnya ? Alhamdulillah.., si Doel mengucap. Inilah ilmu yang ia cari selama ini.
Esoknya, saat kang Sarta datang, si Doel menghampiri bersalaman. 'Kang, terima kasih banyak atas ilmunya', kata si Doel tulus. Kang Sarta tersenyum asih, 'sudah ketemukan den.., jadi nggak perlu nyemen, biar saya aja'. Jarang si Doel melihat kang Sarta tersenyum. Hatinya damai hari ini, dan didalam batin si Doel berkata, kang Sarta memang seorang guru yang pernah singgah didalam dirinya.
sumber: tidak diketahui
Tidak ada komentar:
Posting Komentar